Rabu, 15 Juli 2009

makalah pendidikan pancasila

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Kata paradigma (Inggris: paradigm) mengandung arti model, pola atau contoh. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, paradigma diartikan seperangkat unsur bahasa yang sebagian bersifat konstan (tetap) dan sebagian berubah-ubah. Paradigma juga dapat diartikan suatu gugusan sistem pemikiran. Menurut Thomas S. Kuhn, paradigma adalah asumsi-asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), yang merupakan sumber hukum, metode serta cara penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri dan karakter ilmu pengetahuan tersebut.

Sedangkan kata pembangunan (Inggris: development) menunjukkan adanya pertumbuhan, perluasan ekspansi yang bertalian dengan keadaan yang harus digali dan yang harus dibangun agar dicapai kemajuan di masa yang akan datang. Pembangunan tidak hanya bersifat kuantitatif tetapi juga kualitatif (manusia seutuhnya). Di dalamnya terdapat proses perubahan yang terus menerus menuju kemajuan dan perbaikan ke arah tujuan yang dicita-citakan. Dengan demikian, kata pembangunan mengandung pemahaman akan adanya penalaran dan pandangan yang logis, dinamis dan optimistis.

Sejak tanggal 18 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah sepakat bulat untuk menerima Pancasila sebagai dasar Negara sebagai perwujudan falsafah hidup bangsa dan sekaligus ideologi nasional. Sejak Negara Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 hingga kapan pun selama kita masih menjadi warga Negara Indonesia maka kesetiaan (loyalitas) terhadap Ideologi Pancasila dituntut dalam bentuk sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang nyata dan terukur. Inilah sesungguhnya wujud tanggung jawab seorang warga negara sebagai konsekuensi logis dari sikap bangga dan mencintai Ideologi Negaranya (Pancasila) yang benar-benar telah menghayati, mengamalkan dan mengamankannya dari derasnya sistem-sistem Ideologi Bangsa/Negara-negara modern dewasa ini.

Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa tujuan Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilaksanakanlah pembangunan. Karena pembangunan diarahkan untuk mencapai tujuan Negara, maka dasar Negara harus menjadi paradigma pembangunan. Arah pembangunan dan pelaksanaannya tidak boleh menyimpang dari dasar Negara. Begitu pula pembangunan tidak hanya diarahkan untuk mencapai kemajuan yang bersifat fisik, melainkan pula menyangkut peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas secara jasmani dan rohani.

Berdasarkan konseptualisasi paradigma pembangunan tersebut diatas, maka unsur manusia dalam pembangunan sangatlah penting dan sentral. Karena manusia adalah pelaku dan sekaligus tujuan dari pembangunan itu sendiri. Oleh sebab itu, jika pelaksanaan pembangunan di tangan orang yang sarat KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dan tidak bertanggung jawab, maka segala modal, pikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi yang diterapkan dapat membahayakan sekaligus merugikan manusia, masyarakat, dan Negara.

Garut, adalah salah satu kota di Provinsi Jawa Barat, yang memiliki potensi cukup besar, dalam peningkatan kualitas sumber daya manusianya dan dalam penuntasan rencana pembangunan. Seiring dengan pergantian Kepala Pemerintahan (Bupati) dari satu periode, ke periode yang selanjutnya. Garut telah mengalami banyak sekali perubahan dari tahun ke tahun seiring dengan perjalanannya dalam rencana dan perealisasian pembangunan Indonesia. Garut, yang dulunya, dipandang sebelah mata, sekarang telah menduduki tempat yang dirasa berpotensial untuk menjadikan Garut sebagai kota yang besar, dalam artian, terbilang sukses dalam penataan dan pembangunan daerah dan sumber dayanya. Garut, kini, menjadi bagian yang tak terpisahkan lagi, dalam berbagai event-event yang ada, dan menjadi pusat perhatian seluruh komponen negeri ini.

Menjadi kota yang besar, dan pusat perhatian seluruh negeri, agaknya telah banyak membuat kota Garut menjadi terlena, kita seakan-akan telah melupakan bagian-bagian penting dari pembangunan, perhatian kita, sedikit demi sedikit, telah banyak terfokus ke hal-hal yang dipandang kurang ngeh dalam suatu tatanan pemerintahan. Masalah pendidikan, dan hal-hal seperti penertiban administrasi pemerintahan, kini, kadang kala terbengkalai, seiring dengan pamor Garut sebagai kota yang banyak menelurkan artis-artis Ibukota. Memang hal ini, tidak sepenuhnya salah, kita memang menjadi terkenal dan dikenal oleh negeri ini, sebagai kota yang berprestasi, tentunya. Namun, apakah kita ingin dikenal oleh negeri ini sebagai kota yang hanya maju dan berprestasi dalam hal hiburannya saja. Jawabannya, tentu tidak, ini bukan hal yang kita harapkan. Maka dari itu, sudah selayaknya dan memang seharusnya dilakukan oleh para pemegang kekuasaan di kota Intan ini, untuk kembali menata kembali dan membuat lagi strategi pembangunan yang tepat untuk kota ini.

Hari ini, yang kita butuhkan, adalah sumber daya manusia yang sanggup, mau dan mampu membawa kota ini menuju kegemilangannya, menuju puncak kejayaannya, tentunya, dalam berbagai hal, seperti pendidikan dan kebudayaan daerahnya. Pendidikan, adalah komponen yang paling penting dari banyak garapan dalam tatanan suatu bentuk pemerintahan yang ada. Karena, dari pendidikanlah, kita bisa tahu, apakah kota ini, telah benar-benar sukses atau tidak, dalam pelaksanaan tujuan pembangunan negeri kita ini, ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.

Build the diamond city / membangun kota Intan. Tidak bisa dilakukan dengan mudah, dan tidak bisa dilakukan secara instant. Kita membutuhkan banyak sekali tenaga, pikiran dan proses yang memakan waktu yang cukup lama. Kita membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dan untuk mencapai semua itu, kita mesti dan harus, terlebih dahulu, memajukan sistem dan pelaksanaan pendidikan yang kita punyai menjadi lebih baik dan lebih ‘bersih’ lagi, tanpa ada tindakan-tindakan yang tidak kita harapkan terjadi pada proses pelaksanaan dari sistem-sistem pendidikan kita. Pelaksanaan pendidikan akan berjalan lebih baik lagi, apabila semua pihak yang ada di kota ini, mulai para guru, dan seluruh siswa/murid ataupun santri sekalipun sama-sama ikut serta menyukseskan rencana-rencana pembangunan kota ini, mulai dari jenjang dan garapan pemerintahan kita dalam pendidikan. Semua itu akan terjadi, sekali lagi, asalkan seluruh komponen masyarakat yang ada di kota Intan ini, di kota Garut ini, secara sungguh-sungguh berjuang untuk mempromosikan nilai-nilai positif yang dapat kita ambil dari pendidikan itu sendiri. Aku yakin, tidak ada seorang pun yang ingin dan bertahan tinggal di kota ini, hidup, tanpa adanya pendidikan---yang notabene bisa lebih memberikan mereka jaminan. Maka dari itu, marilah kita kembali mengukuhkan dan meneguhkan tekad dan motivasi kita, demi kemajuan kota Intan ini, Garut, untuk ke depannya.

Do a good deed, meet a need / lakukanlah pekerjaan dengan baik, dan sesuai dengan kebutuhan kita. Sekarang, kita, membutuhkan banyak sekali orang yang mau melakukan pembangunan ini dengan cermat, dan telaten. Kita membutuhkan orang yang ikhlas dan tulus membawa kota ini menjadi kota yang disegani, kota yang diakui keberadaannya, dan dihormati oleh setiap komponen negeri ini. Oleh karena itu, aku berharap, semoga aparatur pemerintahan yang ada sekarang, melakukan hal yang terbaik yang dapat mereka lakukan.


1.2. RUMUSAN MASALAH

Di era globalisasi seperti saat ini kita dapat melihat dengan jelas berbagai persoalan yang menyangkut pembangunan bangsa ini baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Masih banyak persoalan pembangunan yang belum dapat kita selesaikan, mungkin kita akan bertanya siapakah yang bertanggung jawab atas segala pembangunan tersebut atau mungkin dalam hal ini siapakah yang salah dalam mengkonsep pembangunan di negara ini? Dari sedikit persoalan yang kami kemukakan tersebut, kami mengaitkannya dengan judul makalah yang telah ditetapkan oleh Dosen kami yaitu Pancasila sebagai paradigma pembangunan.

Masalah yang paling dasar dalam wacanan kita sekarang ini adalah mempertanyakan – dan menjawab – sudahkah pancasila merupakan sebuah paradigma yang mampu menerangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia pada umumnya, dan kehidupan sosial politik pada khususnya? Bukankah kritik yang paling sering kita dengar adalah bahwa nilai-nilai yang dikandung pancasila itu baik, hanya terasa bahwa sila-silanya bagaikan terlepas satu sama lain dan penerapannya dalam kenyataan yang masih belum sesuai dengan kandungan normanya. Jika kritik itu benar, bukankah hal itu berarti bahwa pancasila masih belum merupakan suatu paradigma, atau jika sudah pernah menjadi paradigma, ia tidak mampu lagi menerangkan kenyataan politik di Indonesia dewasa ini? Jika memang demikian halnya, bukankah kewajiban kita bersama mengembangkannya sedemikian rupa sehingga mampu menerangkan kompleksitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berneagara di Indonesia ini?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN

2.1.1. PENGERTIAN PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN

Sejak tanggal 18 Agustus 1945, bangsa Indonesia sepakat bulat untuk menerima Pancasila sebagai dasar dalam berbagai sendi kehidupan. Inilah yang kemudian melandasi seluruh tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia, tidak terkecuali dalam proses pembangunan infra dan suprastruktur bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai paradigma artinya nilai-nilai dasar Pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolak ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai pula dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Karena Negara adalah organisasi atau persekutuan hidup manusia, maka tidak berlebihan apabila Pancasila menjadi landasan dan tolak ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.

Nilai-nilai dasar Pancasila dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis mempunyai ciri-ciri, antara lain :

1. Terdiri dari jiwa dan raga.

2. Sebagai individu sekaligus sosial.

3. Sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan.

Pembangunan nasional harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan.

2.1.2. BAGAIMANA MEMBANGUN KEMBALI INDONESIA ?

Kalaulah roma tidaklah dibangun dalam satu hari, tentunya Indonesia juga tidak boleh berharap untuk membangun kembali dalam waktu singkat. Satu hal yang akan menjadi penentu berhasil tidaknya pembangunan adalah mengubah mindset akan kondisi yang ada dan bagaimana membangun kedepan dalam kerangka hukum dan HAM.

Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman awal mengenai nilai-nilai mendasar yang ada dalam Pancasila dalam kaitannya dengan pembangunan hukum dan HAM. Banyak sekali contoh-contoh yang dapat dipaparkan disfungsi hukum dalam menegakkan HAM dewasa ini, yang dapat dijadikan kasus yang dapat dipaparkan kepada mahasiswa untuk diulas. Kemampuan para dosen untuk mengajak mahasiswa berpikir kritis dan peduli pada kondisi sosial yang ada, merupakan kunci bagi keberhasilan pemberian materi Pancasila pada mahasiswa melalui problem-based learning. Mengajak mahasiswa untuk berpartisipasi melihat masalah dan mencoba mencari solusinya nampaknya sudah mulai perlu diperkenalkan untuk ke depan nantinya, sehingga mahasiswa juga merasa memiliki kontribusi pada proses pembelajaran yang tidak lagi monolog dan satu arah.

2.1.3. KEMBALI PADA PANCASILA

Apa jadinya negara ini jika masyarakatnya sudah tidak memiliki pegangan nilai-nilai untuk berperilaku seperti PANCASILA yang pada hari ini kita peringati sebagai Hari Kesaktiannya? Mungkin gambaran masyarakat Indonesia sekarang yang penuh dengan kekerasan dan masalah merupakan jawaban dari pertanyaan diatas.

Pancasila dan nilai-nilai luhurnya tidak lagi sakti dan cenderung tidak diamalkan bahkan dilupakan setelah Orde Baru. Buktinya apa? Saya percaya bahwa waktu Anda masih bersekolah dasar atau menengah, Anda masih dapat mengucapkan dengan lengkap 5 sila PANCASILA dengan benar, bahkan ada pula yang hafal 36 butir P4. Jika saya menyuruh Anda menyebutkan sekarang, Apakah Anda bisa menyebutkan seperti dulu?

Ya, memang kesaktian Pancasila tidak dilihat dari hafal atau tidaknya kita dengan menyebut 5 sila tersebut dengan benar, namun bukankah untuk mengamalkan sesuatu hal, kita perlu mengenal dan menghafalkannya terlebih dahulu sehingga dapat dijadikan pedoman dalam bertingkah laku.

Sebelumnya kita lihat dari sisi keadaan saat ini saja, bahwa saat ini Indonesia menderita karena ulah orang-orangnya sendiri yang sedang bermain dalam banyak kepentingan tanpa berpedoman pada nilai-nilai luhur PANCASILA.

Kenaikan BBM yang terjadi saat ini telah memicu protes dari berbagai kalangan, setiap orang punya kepentingan di dalamnya adalah suatu kewajaran. Namun, sayangnya saat ini masyarakat cenderung tidak punya pegangan berperilaku dalam hidup berkenegaraan dan berkebangsaan. Nasionalisme orang Indonesia sekarang adalah nasionalisme kepentingan, sejauh itu adalah kepentingannya, maka orang akan rela bertaruh nyawa dan melakukan segala cara baik yang melanggar norma maupun tidak agar kepentingannya itu terpenuhi. Bahkan norma yang benar bisa jadi diputar balik menjadi norma yang salah atas nama kelompok.

Berita dan artikel media massa serta tuntutan dalam setiap demonstrasi protes tentang kenaikan BBM sudah banyak memberikan informasi kepada kita tentang kerugian-kerugian jika harga BBM naik. Baiklah kita sedikit melihat dari sisi pandang kepentingan-kepentingan yang diuntungkan dalam permainan kepentingan di balik kenaikan BBM serta kerusuhan-kerusuhan dekstruktif yang ditimbulkannya.

Kepentingan yang diuntungkan jika BBM naik, yaitu :

1. Pemerintah, sebagai penyelenggara negara pemerintah bertanggung jawab atas kelangsungan negara termasuk dalam segi ekonomi yaitu mempertahankan devisa negara agar kehidupan masyarakat dan rakyat terjamin. Subsidi BBM disinyalir oleh pemerintah merupakan subsidi yang tidak tepat sasaran karena orang-orang kaya turut menikmati subsidi tersebut.

2. Rakyat kecil yang miskin, yang pendapatan per bulan kurang dari 100 ribu rupiah, dan tidak memiliki kendaraan. Golongan ini akan mendapatkan keuntungan dengan pengalihan subsidi tersebut karena mereka mendapatkan tambahan uang penghasilan, mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah, dan anak-anaknya dapat bersekolah secara gratis. Pendidikan pada anak-anak ini sangat penting karena anak-anak yang berpendidikan ini yang memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatan keluarga di masa datang.

Lalu yang kedua tentang kepentingan yang diuntungkan dengan memanfaatkan kebijakan kenaikan BBM melalui demonstrasi yang cenderung destruktif. Sebelumnya saya minta maaf jika berkesan mendiskreditkan pihak tertentu, berikut ini hanyalah pola pandang dari sisi lain saja. Kepentingan yang diuntungkan dengan maraknya demonstrasi protes dan kerusuhan yang diakibatkannya :

1. Negara-negara asing terutama yang menjadikan Indonesia sebagai target pasarnya memiliki kepentingan juga dalam hal ini, mereka ingin masyarakat Indonesia tetap miskin dan tidak produktif sehingga dapat menjadi konsumen yang ‘haus’ akan produk-produk yang mereka pasarkan. Kerusuhan dan keributan dari tingkat elit politik sampai pada tingkat rakyat akan membuat negara ini tidak bisa menjadi negara maju dan semakin banyak berhutang pada Negara lain.

2. Elit politik memiliki kepentingan yang sangat signifikan sebagai kesempatan yang bagus untuk menjatuhkan pemerintah dan memperbesar dukungan rakyat demi kekuasaan dan kepentingan kelompok politiknya.

3. Orang-orang kaya tidak menyukai naiknya harga BBM karena itu berarti menambah biaya operasional dari beberapa kendaraan yang mereka punyai, biasanya yang sangat dirugikan adalah orang kaya yang memiliki banyak kendaraan bermotor.

4. Penimbun dan penyelundup BBM yang menjual ke Singapore ataupun negara-negara lain tidak menyukai naiknya harga BBM karena keuntungan mereka akan berkurang.

5. Para kontraktor pembangunan, karena adanya kerusuhan akan menimbulkan banyak kerusakan bangunan sehingga kontraktor dan pekerja-pekerjanya mendapatkan proyek-proyek baru.

6. Produsen kendaraan tidak senang dengan naiknya BBM, karena jelas akan meninggikan biaya produksi kendaraan tersebut dan menurunkan daya beli masyarakat terhadap produksi kendaraan mereka. Naiknya BBM membuat masyarakat harus berpikir ulang untuk membeli kendaraan bermotor.

7. Para penjual atribut dan kelengkapan demonstrasi serta logistiknya, contoh yang saya dengar sendiri adalah produsen air minum kemasan. Ribuan karton minuman mereka terjual habis untuk logistik pendemo dan juga polisi-polisi yang mengamankan demo tersebut.

2.1.4. SUDAH BERUBAHKAH PARADIGMA PEMBANGUNAN KITA ?

Sudah, pada pelatihan fasilitator beberapa waktu lalu dibahas materi Paradigma Pembangunan tentang sejarah global dan nasional terjadinya pergeseran paradigma. Yakni, dari paradigma pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial, menjadi pembangunan manusia sebagai ending-nya, yang banyak diyakini sebagai paradigma kekinian dalam pemberdayaan masyarakat.

Sejak zaman kemerdekaan, orde lama, orde baru dan baru pada era reformasi ini pemerintah dan rakyat kita baru tersadar bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah pembangunan manusia? Apakah konsep Tridaya P2KP sangat jauh berbeda dengan Trilogi Pembangunan ala orde baru, atau hanya pada sistem pelaksanaannya saja yang berubah?”

Bukankah dalam bait terakhir syair lagu Indonesia Raya karya WR. Supratman menulis, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya…”. Jika dicermati, dalam syair tersebut kata “Jiwa” disebut lebih dulu daripada kata “Badan”. Bahkan, dalam Pancasila --- sebagai pondasi negara kita --- keTuhanan dan kemanusiaan menjadi point pertama dan kedua sebelum persatuan, kerakyatan dan keadilan. Artinya, para “founding father” cukup tahu atau bahkan sangat paham tentang pentingnya membangun manusia, yang harus dilakukan dari dalam (ruh atau jiwa yang memang tidak terpisahkan dari kesadaran transedental/ketuhanan dan kemanusiaan).

Dus, dengan mengubah tema pembangunan menjadi membangun manusia dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, tidak secara otomatis mampu mengubah paradigma kita. Misalnya, dalam paradigma pembangunan manusia kita harus menjadikan masyarakat sebagai subyek/pelaku dalam pembangunan, namun kita sendiri lebih terbiasa memakai frasa “membangun masyarakat”, yang di dalamnya masih menjadikan masyarakat sebagai obyek. Justru terdengar agak asing ketika frasa tersebut diganti dengan “masyarakat membangun” atau “masyarakat pembangunan”.

Kita juga harus memahami bahwa kita “bekerja untuk masyarakat”, bukan untuk pemerintah juga bukan untuk KWM (proyek). Kalimat “bekerja untuk masyarakat” memang tidak salah. Namun, sekali lagi masih saja menjadikan masyarakat sebagai obyek, sekalipun menurut kita terkesan lebih pas daripada memakai kalimat “bekerjasama dengan masyarakat” atau “bekerja bersama masyarakat”. Bisa jadi semua hal diatas cuma kebetulan atau masalah leksikal dan gramatikal bahasa semata. Namun, kebetulan yang sering dan menjadi kebiasaan juga merupakan suatu budaya. Bahasa atau kebiasaan leksikal dan gramatikal kita toh juga sangat dipengaruhi oleh paradigma kita.

Kalau kita mau lebih jujur, serangkaian kegiatan pembangunan atau pemberdayaan yang saat ini kita lakukan dengan mengusung tema pembangunan manusia memang masih sering mengandung ambivalensi antara makna sosial etis kepada masyarakat atau politis ekonomis bagi diri kita sendiri. Berbagai permasalahan seperti keterlambatan biaya operasional atau saran penunjang kegiatan, pengurangan nominal dana pelatihan, pengurangan kuantitas media, dan lain-lain, yang membuat kita sering ambigu saat ada yang bertanya apa perbedaan antara “proyek” dengan “program”, atau saat ada masyarakat yang bertanya apa perbedaan antara “fasilitator” dengan “relawan”.

Dalam konteks ini saya sering mengamini pendapat yang mengatakan bahwa kita sebenarnya belum benar-benar sadar jika kita belum benar-benar berubah, atau mengutip istilah Freire, perubahan paradigma kita masih pada tahap naif, belum pada tahap kritis, atau setidaknya kita tidak lagi di tahap kesadaran magis.

2.2. PERANAN PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN DI BIDANG SOSIAL POLITIK, EKONOMI, HUKUM DAN HAM, SOSIAL BUDAYA SERTA PERTAHANAN KEAMANAN

2.2.1. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG SOSIAL POLITIK

Pada dasarnya, konsep “Paradigma” yang pertama kalinya dipopulerkan oleh Thomas Khun, berarti model berpikir dalam ilmu pengetahuan. Paradigma besar manfaatnya, oleh karena konsep ini mampu menyederhanakan dan menerangkan suatu kompleksitas fenomena menjadi seperangkat konsep dasar yang utuh. Paradigma tidaklah statis, karena ia bisa diubah jika paradigma yang ada tidak dapat lagi menerangkan kompleksitas fenomena yang hendak diterangkannya itu.

Pancasila, yang sejak tahun 1945 telah dinyatakan sebagai dasar negara republik Indonesia, mungkin masih memerlukan pengembangan dan pendalaman konseptual agar dapat menjadi sebuah paradigma yang andal. Pengembangan dan pendalaman ini amat urgen, oleh karena amat sukar membayangkan akan adanya sebuah Indonesia, yang dalam segala segi amat majemuk, tanpa dikaitkan dengan pancasila.

Pembangunan bangsa dan negara sebagai konteks pembangunan bidang sosial politik

Bagaimanapun, Republik Indonesia memang adalah sebuah negara nasional baru, yang didirikan oleh sebuah bangsa yang baru, yang baru bangkit pada awal abad 20, setelah pemerintah kolonial Hindia belanda memberikan sekedar pendidikan kepada sejumlah kecil kaum muda dalam rangka Ethische Politiek. Kelompok kecil kaum muda terpelajar inilah yang pertama kali menyadari bahwa sekian ratus suku bangsa yang mendiami rangkaian kepulauan “Hindia Belanda” ini sesungguhnya adalah suatu bangsa. Mereka diikat oleh pengalaman sejarah yang sama. Dengan keyakinan itulah mereka mendirikan berbagai organisasi, yang mulanya bersifat moderat, tetapi kemudian menjadi semakin radikal. Dalam babak awal gerakan kaum muda ini bersifat elistis, kemudian menjadi populis, dengan melibatkan massa rakyat. Dapat dikatakan bahwa sejak awalnya, Republik Indonesia berdiri dan berfungsi menurut pola top-down.

Sudah barang tentu, tidaklah mudah bagi lapisan kecil kaum terpelajar Indonesia itu untuk secara rasional menjangkau rakyat banyak, yang sebagian besar berpendidikan rendah, dan hidup dalam keadaan pas-pasan. Mereka harus menjangkau rakyat melalui kekuatan kharisma pribadi yang dimilikinya. Rakyat Indonesia, baik dahulu mapun sekarang, lebih tertarik pada tokoh-tokoh daripada substansi ideologi atau program politik yang ditawarkan tokoh-tokoh bersangkutan.

Susahnya, jangkauan kharisma pribadi seorang dibatasi oleh lingkungan kultural asalnya, dan –seperti diingatkan Max Weber – charisma tidaklah langgeng. Bila kharisma seseorang itu tidak memberikan manfaat konkrit, khususnya dalam bidang ekonomi, pengaruh kharisma akan segera merosot, bahkan lenyap.

Hal itu terlintas jelas dalam pengalaman Ir. Soekarno sebagai Presiden. Walaupun kemampuan retoriknya tidaklah berkurang sampai saat-saat terakhir, namun keadaan ekonomi yang tidak pernah membaik dibawah pemerintahnya, ditambah dengan suasana ketidakpastian suasana revolusioner yang dikobar-kobarkannya sebagai pemimpin besar revolusi, ia jatuh pertengahan tahun 1966 oleh rangkaian demonstrasi pelajar dan mahasiswa yang mengajukan tiga tuntutan.

Tiga tuntutan itu adalah : Turunkan harga, bubarkan kabinet 100 menteri, dan bubarkan PKI.

Pengalaman yang sama terulang pada Jendral Soeharto, yang pernah memiliki sebagai komandan serangan 1 maret 1949 ke Ibukota Yogyakarta yang sedang diduduki belanda. Dalam 15 tahun pertama ia berhasil memperbaiki kondisi ekonomi, politik dan keamanan Indonesia ketaraf yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Ia bahkan telah berusaha menyumbangkan pemikirannya mengenai penghayatan dan pengalaman pancasila, yang kemudian disyahkan oleh Majelis Permusyawaratan Perwakilan. Namun dalam kurun 15 tahun kedua pemerintahannya. Kekuasaan pemerintahan sedemikian terkonsentrasi dalam tangannya diiringi oleh serangkaian kebijaksanaan ekonomi yang ternyata telah menyebabkan kebangkrutan Indonesia. Dalam tahun 1998 ia dipaksa mengundurkan diri, bukan saja oleh karena terjadinya serangkaian demokrasi mahasiswa, tetapi juga karena sebagian menterinya tidak bersedia lagi untuk bertugas dibawah kepemimpinannya.

Pengalaman yang sama terulang lagi pada Presiden KH. Abdurrahman Wahid yang sedemikian yakinnya terhadap kharisma yang memang dipunyai dikalangan warga NU, khususnya di provinsi Jawa Timur, sehingga ia mengabaikan prinsip-prinsip kepemimpinan yang baik, termasuk dalam bidang manajemen pemerintahan. Ia bukan saja menolak untuk memberikan pertanggungjawaban kepada MPR, tetapi juga mengeluarkan dekrit membubarkan Lembaga Tertinggi Negara itu, yang dinyatakan tidak sah oleh Makamah Agung RI, sehingga MPR – kecuali fraksi PKB yang tidak mau hadir dalam sidang – memutuskan memberhentikannya sebagai Presiden Republik Indonesia. ia merupakan presiden pertama yang dihentikan oleh MPR.

Ditinjau dari segi kultur politik, apakah “garis merah” dari ketiga presiden yang turun dengan cara yang tidak lazim tersebut? Banyak pengamatan menggaris bawahi bahwa semua mereka berasal dari dan sepenuhnya hidup dalam kultur politik jawa, yang baru merasa nyaman kalau seluruh kekuasaan berada didalam tangannya, dan bahwa kekuasaan tidak dapat dibagi, apalagi dibantah. Dengan perkataan lain, dari segi kultur politik, ketiganya belum meng-Indonesia, karena mereka tidak sepenuhnya merasa nyaman dengan suasana Bhineka Tunggal Ika. Sebagai perbandingan, Presiden B.J. Habibie – yang secara kultural – bukan berorientasi jawa, dan merupakan presiden pertama dalam alam reformasi – memberikan suatu suasana baru kepada Indonesia, suasana yang lebih bebas, suasana yang lebih demokratis.

Dengan demikian, mungkin salah satu jalur keluar dari kendala kultural ini adalah dengan meng-Indonesia-kan pancasila itu, dalam arti penyusunan sistem kenegaraan serta sistem pemerintahan yang lain didasarkan pada lima aksioma pancasila, juga nyaman dengan kemajemukan Indonesia, baik dari segi agama, ras, etnik, maupun golongan. Untuk ini, maka gagasan untuk mengadakan rangkaian amandemen terhadap batang tubuh dan penjelasan undang-undang dasar 1945, bukan saja absah, tetapi juga perlu.

2.2.2 PARADIGMA PEMBANGUNAN EKONOMI

Perkembangan ekonomi global menurut paradigma baru dalam pengelolaan negara. Kesalahan selama ini adalah sentralisasi pengelolaan sumber daya lokal yang seharusnya menjadi wewenang pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Akibatnya, masyarakat lokal tidak menikmati kekayaan alam daerahnya. Disinilah Indonesia Baru harus membuat perubahan. Pembangunan harus diarahkan untuk menemukan daerah-daerah pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa. Kemudian, pemerintah daerah diberikan otonomi dan wewenang disentralisasi seoptimal mungkin untuk mengelolanya.

2.2.3. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

All human beings are boom free and equal in dignity and rights They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood

(Article, 1, Universal Declaration of Human Rights)

Pada bulan agustus 2002, konstitusi kita telah mengalami amandemen yang keempat. Proses amandemen atau perubahan ini sendiri telah menunjukkan adanya suatu pergeseran dalam pemikiran mengenai undang-undang dasar 1945, karena pada masa-masa sebelumnya, perubahan konstitusi ini seakan dianggap tabu untuk dilakukan. Terlepas dari perbedaan pendapat apakah yang dilakukan memang suatu perubahan belaka ataukah suatu perubahan sutu menggantikan konstitusi, sangat nyata bahwa keempat amandemen yang dilakukan sama sekali tidak berkehendak untuk menyentuh pembukaan undang-undang dasar 1945. sebagai konsekuensi logis, maka esensi yang dimuat dalam bagian tersebut masih tetap intact, termasuk mengenai Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara, sebagai ideologi bangsa, memang banyak sekali mendapat sorotan dari para penulis dari berbagai disiplin ilmu, yang mencoba mengkajinya dari perspektif masing-masing. Namun pada dasarnya semua menyadari bahwa Pancasila memuat sejumlah nilai dasar yang tidak dapat dipisahkan dari cita rakyat Indonesia, yang bahkan sebagian orang menilainya sebagai suatu impian yang ingin dicapai rakyat Indonesia pada suatu saat kelak. Elemen-elemen mendasar yang dicantumkan dalam pancasila memang bukanlah suatu yang dengan sederhana dan segera dapat diwujudkan dalam penyelenggaraan kekuasaaan Negara, karena memerlukan pemahaman dan komitmen yang sungguh-sungguh dari para pembuat keputusan. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa rakyat banyak tidak dapat menentukan jalannya negara, akan tetapi bahwasannya pembuat keputusan akan mempunyai “the last say”, sungguh merupakan realita belaka, tanpa melebihkan atau menguranginya.

Sulit diingkari bahwa salah satu hal yang saat ini sedang menjadi salah satu isu yang paling ramai dibicarakan masyarakat Indonesia adalah penegakan supremasi hukum yang berkeadilan dan penegakan Hak Asasi Manusia. Betapa tidak, HAM merupakan seperangkat hak dasar yang secara kodrati melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, sehingga pada dasarnya semua kehidupan manusia tidak lepas dari nuansa HAM, sebagimana dirumuskan dalam Pasal 1 Deklarasi Universal tentang HAM yang mengawali tulisan ini. Tidak mengherankan apabila dalam perumusan UUD 1945 oleh para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia juga telah diinkorporasikan materi yang berkenaan dengan HAM. Dengan demikian HAM telah merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh hukum.

2.2.3.1. PANCASILA, HUKUM DAN HAM

Sebagai perangkat nilai yang menjadi cita hukum (rechtsidee) masyarakat Indonesia sebagaimana dicetuskan awal mualnya oleh founding fathers kita, Pancasila sering kali dijadikan scapegoat, dengan menempatkannya sebagai “imbuhan” dalam berbagai konsep yang sebenarnya tidak begitu jelas. Upaya semacam ini telah lama menderogasi makna Pancasila sendiri, yang sebenarnya harus dijadikan landasan berpikir dalam menjalankan peran masing-masing individu maupun kelompok dalam kehidupan masyarakat.

Dalam bidang hukum dan HAM, nilai yang terkandung dalam kelima asas negara ini, menurut Hamid Attamini fungsi konstitutif dan regulatif. Fungsi konstitutif yakni yang menentukan dasar suatu tata hukum dan memberikan arti dan makna sebagai hukum. Sudah teramat jelas bahwa dengan mengacu kepada fungsi ini, makna dalam setiap proses perumusan ketentuan perundang-undangan, para perumus harus selalu menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai acuannya. Berkenaan dengan fungsi ini, dapat dipinjam konsep dari Roseo Pound yang memberi kemungkinan bagi hukum untuk berfungsi sebagai :

a. As a tool of social engineering

b. As a dispute resolution mechanism

c. As a social control mechanism

Fungsi regulatif dirumuskan sebagai fungsi yang menentukan apakah suatu hukum positif bersifat adil atau tidak adil.

Sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial, hukum sepantasnya mengacu pada tujuan utama yang ditentukan, yang jika diterjemahkan melalui pembukaan UUD 1945 adalah “masyarakat yang cerdas, adil dan makmur”. Merupakan konsekuensi logis apabila kemudian semua ketentuan berundang-undangan harus dapat dikembalikan kepada tujuan tersebut. Ketentuan perundang-undangan yang menyimpang darinya dengan demikian harus dikategorikan sebagai null and void. Dari uraian singkat ini selayaknya dapat dipahami bahwa ketentuan hukum pada dasarnya bukan hanya ditunjukkan bagi subyek yang berupa rakyat suatu negara, akan tetapi juga mengikat para penyelenggara kekuasaan negara, yang tercermin dari konsep Negara berdasar atas Hukum dan bukan atas dasar kekuasaan.

Landasan yang diberikan dalam nilai-nilai Pancasila untuk menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, dapat diurai secara sederhana.

Nilai religius yang diamanatkan dalam sila pertama, dapat dikatakan merupakan suatu keunikan dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia dibandingkan dengan Negara-negara barat misalnya, yang tentunya berangkat dari kondisi masyarakat Indonesia sendiri. Dengan menepatkan diri sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa, ingin disampaikan bahwa pada dasarnya manusia (termasuk manusia yang menyelenggarakan kekuasaan) tidak akan berarti apapun dalam kehidupannya tanpa kekuasaan-Nya. Kerangka pikir utama yang dapat ditarik dari sila ini dalam kaitannya dengan hukum dan HAM adalah :

a. Negara berkewajiban untuk menjamin hak dan kebebasan dasar setiap individu untuk beragama secara bebas ;

b. Ketentuan perundang-undangan harus selalu mengacu pada nilai-nilai keTuhan-an yang universal ; dan

c. Semua individu dalam negara memiliki hak yang asasi untuk memilih dan menjalankan ibadahnya sesuai apa yang ia percayai.

Kondisi pada beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa rendahnya toleransi pada perbedaan dan upaya untuk mengunggulkan golongan sendiri (atas dasar apapun) telah membawa akibat negatif yang luar biasa pada kehidupan masyarakat. Bhineka Tunggal Ika, et pluribus unnum, yang ditera pada lambang negara seakan tidak memiliki makna simbolis apapun lagi, kecuali slogan yang harus dihafalkan. Kesadaran yang amat tinggi dari founding fathers NKRI akan pluralisme rakyat Indonesia, tidak diikuti dengan upaya-upaya untuk mengkomunikasikannya kepada setiap insan manusia Indonesia. justru kelompok-kelompok tertentu mengedepankan keunggulan karakteristik kelompok mereka dibanding kelompok lain, yang pada gilirannya dapat membuahkan berbagai konflik. Kesadaran akan makna persatuan menjadi tercabik-cabik oleh fenomenon semacam itu.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan, merupakan asas yang menghasilkan seperangkat nilai yang menjadi landasan kehidupan sebagai warga Negara dalam pemerintah, yang dirumuskan dalam “hak untuk turut serta dalam pemerintahan”.

Pada dasarnya, asas ini mengutamakan partisipasi public yang merupakan salah satu unsure dalam kerangka Good Governance. Implikasinya adalah bahwa dalam proses pengambilam keputusan, public harus dilibatkan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Pada masa lalu telah kita saksikan bahwa keputusan yang monolitik, yang semata-mata diputuskan oleh “pusat” tanpa memperhitungkan suara publik (termasuk kebutuhan dan kondisi lokal) sangat banyak menghasilkan kondisi yang tidak kondusif untuk rakyat secara keseluruhan. Bahwasannya publik hanya menjadi obyek bukannya subyek dalam pemerintahan begitu meluas terjadi, yang pada akhirnya menimbulkan perasaan tidak diperlakukan secara adil, dengan dampak yang masih kita alami sampai saat ini.

Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai refleksi dari elemen ini, pada awalnya diharapkan dapat menghasilkan keputusan yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat. Akan tetapi dalam kenyataannya ternyata harapan ini masih jauh dari ketercapaian. Proses demokrasi yang kini tengah diupayakan untuk berjalan masih diwarnai oleh berbagai miskonsepsi dan juga penyalahgunaan oleh pihak-pihak tertentu.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung elemen keadilan yang sebenarnya lebih dari sekedar keadilan menurut hukum (legal justice). Sila terakhir ini membawa ke depan sejumlah landasan pikir bagi semua komponen, yang menyangkut antara lain :

a. Hak atas pendidikan, pekerjaan, perumahan yang layak bagi setiap insan ;

b. Hak atas keadilan hukum yang didasari pada asas persamaan dimuka hukum ;

c. Adanya mekanisme hukum yang memastikan bahwa keadilan diberikan pada setiap insan.

Mudah dipahami, bahwa perumusan ketentuan mengenai HAM yang kini ada kalam konstitusi merupakan hasil dari tuntutan civil society yang makin menguat yang merefleksikan keinginan publik untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan penentuan kebijakan. Sejarah Indonesia yang baru saja dialami, banyak menunjukkan adanya ketidakpedulian pada HAM, utamanya yang dilakukan oleh pihak yang memiliki akses pada kekuasaan, dan kondisi harus segera diperbaiki untuk masa depan Indonesia.

2.2.4. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA

Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang Pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia. Hal ini tertuang dalam sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab.

Berdasarkan sila “Persatuan Indonesia”, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.

2.2.5. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN PERTAHANAN KEAMANAN

Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara Negara, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata).

Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

2.2.6. MEMBANGUN MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA

2.2.6.1. MENURUT TEAM PENULIS (SATGAS) LABORATORIUM PANCASILA IKIP MALANG

Bangsa Indonesia bertekad mewariskan dan melestarikan negara berdasarkan Pancasila an UUD 1945 kepada generasi penerus. Untuk mencapai tujuan ini maka pembinaan manusia sebagai subyek negara adalah prasyarat (syarat mutlak). Berdasarkan motivasi ini pula negara kita di dalam GBHN menetapkan bahwa hakikat pembangunan nasional ialah membangun manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia seutuhnya ini sebagai subyek yang dicita-citakan, diharapkan maupun menegakkan, mengembangkan, mewariskan, dan melestarikan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ini berarti subyek manusia Indonesia seutuhnya menentukan kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Subyek manusia Indonesia seutuhnya mencerminkan pula watak dan kepribadian manusia Indonesia yang dicita-citakan. Jadi, manusia seutuhnya sekaligus mencerminkan kepribadian, martabat dan kualitas manusia Indonesia masa depan.

Selanjutnya, bagaimanakah gambaran watak dan kepribadian manusia Indonesia seutuhnya itu?

Sebagai bangsa, negara kita menetapkan sistem pendidikan nasional sebagai kelembagaan yang bertanggungjawab untuk mewujudkan cita-cita membangun manusia seutuhnya. Karenanya hakikat manusia Indonesia seutuhnya tercermin dalam rumusan tujuan pendidikan nasional kita.

a. Rumusan tujuan pendidikan nasional berdasarkan rumusan dalam GBHN :

“Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu dikembangkan iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri sendiri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif. Dengan demikian pendidikan nasional akan mampu mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta semata-mata bertanggung jawab atas pemabngunan bangsa.”

b. “Rumusan tujuan pendidikan nasional menurut UU RI No. 2/1989 tentang pendidikan nasional, menetapkan antara lain dalam pasal 4 :

“Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”

Jadi bangsa dan negara kita membangun kepribadian manusia Indonesia seutuhnya sebagai perwujudan pribadi warga negara yang mencerminkan pribadi warga negara yang mencerminkan penghayatan dan pengamalan Pancasila. Bahkan mencerminkan kepribadian manusia Pancasila.

2.2.6.2. MENURUT DRS. SUNOTO

Untuk membangun manusia yang utuh lebih dahulu harus kita fahami apa yang dimaksudkan dengan manusia utuh. Untuk mengetahui apakah manusia utuh, kita harus memahami apa manusia itu. Dalam hal ini kita akan dihadapkan kepada berbagai jawaban, dan yang kita pilih tentunya yang sesuai dengan kepribadian Pancasila. Manusia adalah makhluk Tuhan yang otonom terdiri atas jiwa dan raga dan mempunyai sifat baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dalam hal membangun manusia seutuhnya, berarti membangun secara serasi keseluruhan unsur-unsur manusia tersebut, tidak boleh berat sebelah. Pembangunan jiwa harus serasi dengan pembangunan raga, pembangunan sifat individunya harus serasi dengan sifat sosialnya dan pembangunan kemandiriannya harus serasi dengan keterikatannya sebagai makhluk Tuhan.

Pembangunan jiwa mempunyai problemnya sendiri, demikian pula pembangunan raga, pembangunan sifat individu dan sosial dan pembangunan sifat mandiri serta sebagai makhluk Tuhan. Hal-hal tersebut sudah siap di hadapan kita untuk kita tangani, untuk kita jawab dengan sebaik-baiknya. Makin keras usaha kita untuk membangun manusia Indonesia yang utuh berarti makin keras pula problem serta tantangan yang wajib kita jawab.

2.3. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI PEMBANGUNAN

Mengisi kemerdekaan berarti membangun bangsa dan membangun bangsa berarti memerangi kemiskinan yang menjadi beban penderitaan rakyat sejak lama. Namun pembenahan ekonomi membutuhkan stabilitas politik sebagi persyaratannya. Ini berarti bahwa keamanan harus segera dipulihkan, untuk memberikan peluang bagi pembenahan ekonomi dan mendorong pertumbuhan yang cepat. Pancasila mampu memberikan orientasi dalam pembangunan, wawasan ke depan dengan konsep-konsep yang secara substansial dieksplisitkan dari nilai-nilai dasar dari lima sila. Secara mendasar, Pancasila dikaitkan dengan kodrat manusia dan martabat manusia.

Pancasila memiliki dimensi manusia sebagai ciri khasnya. Orientasi inipun lebih lanjut dituangkan ke dalam persepsi tentang pembangunan dengan menyatakan bahwa pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, material spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Demikian juga orientasi pada kodrat manusia tersebut memberikan juga implikasi yang sangat penting dalam mempersepsikan Pancasila sebagai sumber hukum positif. Pembedaan atau lebih tepat acuan hukum kodrat yang mendasari hukum positif memberikan arahan yang sangat penting dalam mengembangkan sistem hukum nasional. Dengan adanya kesadaran, dapat menumbuhkembangkan berbagai refleksi yang berupa nilai-nilai intrinsik yang dapat membentuk suatu legitimasi pembangunan yang baik khususnya pada bidang perekonomian. Keberhasilan pada bidang perekonomian dapat memberikan keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri. Dengan adanya kebijaksanaan yang lebih mantap dapat menghasilkan tindakan yang jelas untuk menentukan langkah berikutnya.

2.4. TRILOGI PEMBANGUNAN

Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan merata. Sebaliknya, berhasilnya pembangunan tergantung pula kepada partisipasi aktif seluruh rakyat.

Peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan yang adil dan merata yang ingin diusahakan melalui pembangunan itu hanya dapat tercapai jika ada peningkatan kemampuan ekonomi, yang harus dihasilkan oleh usaha pembangunan itu sendiri.

Perlu untuk selalu diingat bahwa pembangunan hanya dapat dilaksanakan dengan berhasil dalam stabilitas nasional yang mantap. Makin mantap stabilitas nasional makin lancar usaha pembangunan ; sebaliknya pembangunan yang berhasil akan lebih memantapkan lagi stabilitas nasional.

Jika stabilitas nasional terganggu, maka pembangunan tidak dapat dilaksanakan. Jika tidak dapat membangun, kita tidak dapat memberikan pemerataan yang menuju kepada keadilan sosial yang memadai. Jika pemerataan tidak adil dan keadilan tidak merata, ini akan dapat menimbulkan keresahan dan gejolak sosial yang akan mengganggu stabilitas nasional.

Karena itu pembangunan selalu dilaksanakan dengan bertumpu pada trilogi pembangunan, yaitu :

1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.

3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Ketiga unsur trilogi pembangunan itu adalah sama penting dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas adalah unsur-unsur yang saling kait-mengait. Karena itu dalam pelaksanaan pembangunan harus senantiasa diusahakan keseimbangan yang serasi antara ketiga unsur tersebut, agar saling memperkuat.

Meskipun trilogi pembangunan baru diistilahkan pada pelaksanaan Repelita II namun pada hakikatnya telah menjadi landasan dari setiap kebijaksanaan pelaksanaan pembangunan mulai Repelita I.

Urutan-urutan trilogi pembangunan itu tidak selalu sama. Di masa yang lalu stabilitas nasional di tempatkan pada kedudukan pertama, diikuti pertumbuhan ekonomi, baru kemudian pemerataan ; ini sedikit banyak mencerminkan keadaan dan tahapan pembangunan pada waktu itu.

Sejak Pelita III telah disepakati untuk menempatkan masalah pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya pada urutan pertama, karena pada dasarnya seluruh usaha pembangunan memang dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, usaha memeratakan pembangunan dilaksanakan di seluruh wilayah tanah air dan hasil-hasilnya harus dapat pula dinikmati oleh seluruh rakyat. Oleh karenanya pemerintah menentukan kebijaksanaan melalui Delapan jalur Pemerataan.

Pertumbuhan ekonomi pada umumnya digunakan sebagai tolak ukur mengenai seberapa besar kemajuan yang diperoleh di bidang pembangunan ekonomi, yang menjadi sumber dana bagi pembangunan bidang-bidang lainnya. Penekanan kata “cukup tinggi” dalam trilogi pembangunan (untuk pertumbuhan ekonomi) dimaksudkan :

a. Agar lebih tinggi dari laju pertumbuhan penduduk sehingga hasil yang diperoleh tidak sekedar habis memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga memberikan peningkatan kemajuan ;

b. Agar tetap memperhatikan pemerataan dan hasil-hasilnya, karena usaha mendorong pertumbuhan ekonomi semata-mata dapat mengabaikan aspek pemerataan ;

c. Agar tetap memperhatikan pembangunan bidang-bidang yang lain, karena usaha mendorong pertumbuhan ekonomi apabila tidak atau kurang diwaspadai akan memberikan dampak negatif bagi pembangunan bidang lainnya.

Stabilitas nasional adalah suatu kondisi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang mantap, aman, tentram, dan tertib. Sehat dimaksudkan bahwa kondisi tersebut di atas tercipta atas dasar berlakunya aturan yang telah disepakati secara nasional, tidak bersifat semu, bukan karena tekanan, tetapi timbul secara wajar dari kesadaran yang mendalam sehingga justru mendorong dinamika masyarakat. Dinamika dimaksudkan bahwa dalam kondisi tersebut dimungkinkan berkembang kreativitas dan otoaktivitas masyarakat.


BAB III

P E N U T U P

3.1. KESIMPULAN

1. Kata paradigma mengandung arti model, pola / watak. Pancasila sebagai pembangunan mengandung maksud bahwa pelaksanaan pembangunan di Indonesia harus berdasarkan kepribadian Indonesia dan menghasilkan manusia dan masyarakat maju yang tetap berkepribadian Indonesia yang dijiwai dan dilandasi oleh nilai-nilai luhur Pancasila.

2. Agar pelaksanaan pembangunan sesuai dengan paradigma Pancasila, maka penyelenggara dan pelaksana pembangunan harus bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta bertanggung jawab penuh terhadap masyarakat, bangsa, dan negara.

3. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Politik

Bahwa manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekedar objek politik. Karena Pancasila bertolak dari kodrat manusia, pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai dengan Pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.

Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (Sila IV Pancasila).

4. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi

Sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (Sila pertama Pancasila) dan kemanusiaan (Sila kedua Pancasila).

Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dan humanitas akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan.

Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi system dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

5. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya

Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang Pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia. Hal ini tertuang dalam sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab.

Berdasarkan sila “Persatuan Indonesia”, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.

6. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan

Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara Negara, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata).

Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

7. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Hukum dan HAM

Untuk memberi pemahaman awal mengenai nilai-nilai mendasar yang ada dalam Pancasila dalam kaitannya dengan pembangunan hukum dan HAM. Banyak sekali contoh-contoh yang dapat dipaparkan disfungsi hukum dalam menegakkan HAM dewasa ini, yang dapat dijadikan kasus yang dapat dipaparkan kepada mahasiswa untuk diulas. Kemampuan para dosen untuk mengajak mahasiswa berpikir kritis dan peduli pada kondisi sosial yang ada, merupakan kunci bagi keberhasilan pemberian materi Pancasila pada mahasiswa melalui problem-based learning. Mengajak mahasiswa untuk berpartisipasi melihat masalah dan mencoba mencari solusinya nampaknya sudah mulai perlu diperkenalkan untuk ke depan nantinya, sehingga mahasiswa juga merasa memiliki kontribusi pada proses pembelajaran yang tidak lagi monolog dan satu arah.

3.2. SARAN

Kita dapat meelaksanakan perubahan yang direncanakan guna mewujudkan cita-cita kehidupan masyarakat menuju hari esok yang lebih baik (secara kualitatif maupun kuantitatif). Seperti halnya, ilmu pengetahuan laksana ‘Pedang bermata dua’, ia dapat dimanfaatkan untuk kemajuan peradaban sekaligus dapat pula digunakan untuk merusak. Paradigma pembangunan Indonesia yang berlandaskan Pancasila mendorong pembangunan iptek yang bermanfaat bagi kemajuan peradaban manusia.

Karena yang ingin kita bangun adalah manusia dan masyarakat Indonesia, maka paradigma pembangunan harus berdasarkan kepribadian Indonesia dan menghasilkan manusia dan masyarakat maju yang tetap berkepribadian Indonesia, yang dijiwai dan dilandasi oleh nilai-nilai luhur Pancasila.


LAMPIRAN

45 BUTIR PENGAMALAN PANCASILA

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2) Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

3) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama anatar pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

4) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

5) Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan tuhan Yang Maha Esa.

6) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.

7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

1) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

2) Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.

3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesame manusia.

4) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.

5) Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.

6) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

7) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

8) Berani membela kebenaran dan keadilan.

9) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.

10) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

3. Persatuan Indonesia

1) Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.

2) Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.

3) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.

4) Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.

5) Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

6) Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Ika.

7) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

1) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.

2) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.

3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.

4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.

5) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.

6) Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.

7) Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.

8) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.

9) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.

10) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan permusyawaratan.

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

1) Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.

2) Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.

3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

4) Menghormati hak orang lain.

5) Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.

6) Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.

7) Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.

8) Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.

9) Suka bekerja keras.

10) Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.

11) Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.


DAFTAR PUSTAKA

Kaelan, Drs. MS. 1999. Pendidikan Pancasila Yuridis Kenegaraan : Yogyakarta. Paradigma.

----.2002. Kapita Selekta Pendidikan Pancasila ( Untuk Mahasiswa ) : Jakarta. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas.

Wahyuningsih dkk. --- . Acuan Pengayaan Kewarganegaraan SMA Kelas XI Semester 2 : Surakarta. CV. Sindhunata.

Wihardjo, Wiwiet, Drs. Dkk. --- . PAKAR ( Panduan Aktif Belajar ) Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMP Kelas VIII Semester Genap : Klaten. Aviva.

Team Penulis (Satgas) Laboratorium Pancasila IKIP Malang. 1989. Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi : Malang. Laboratorium Pancasila IKIP Malang.

Sunoto, Drs. 1981. Mengenal Filsafat Pancasila II Pendidikan Melalui Sejarah Dan Pelaksanaannya : Yogyakarta. PT. Haninda Offset.

Harkrisnowo, Harkristuti. 2002. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Hukum Dan Hak Asasi Manusia : Jakarta. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas.

FS. Zuhry, Pelaku P2KP KMW XIV P2KP-3 Maluku Utara ; Nina.

Budiyanto, Drs. , MM. 2005. Kewarganegaraan SMA Kelas XI : Jakarta. Erlangga.

Darmodiharjo, Darji, Prof. ,SH. 1982. Pancasila Suatu Orientasi Singkat : Jakarta. Aries Lima – Anggota IKAPI.

Rahardjo, M. Dawam. 1984. Ekonomi Pancasila Edisi I : Yogyakarta. BPFE Yogyakarta Anggota IKAPI No – 003.

Sariyono, Drs. --- . Diktat Pendidikan Pancasila : Ponorogo. Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Bahar, Saafroedin, Dr. 2002. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial Politik : Jakarta. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas.

Internet : www.google.com , www.waroengopini.com , www.koecing-poeny.com , www.jawapos.com